Wanitadidunia.blogspot.com – Kemarin, saya bertemu seorang teman lama. Lalu kita ngobrol-ngobrol lama, tentang banyak hal, maklum lama tidak bertemu. Dia memberi tahu bahwa minggu kemarin istrinya melahirkan seorang anak laki-laki, dia memberi nama muhamad al buckhori kepada anaknya tersebut. Sekalian dia menjelaskan arti dari nama itu, nama yang sangat kental nuansa keislaman, atau lebih tepatnya ke”arab”an.
Setelah ngobrol tadi saya tercenung untuk beberapa saat, masih terngiang nama anak temanku tadi. saya, mungkin juga anda dan bahkan mungkin kita semua sering menyaksikan gejala atau lebih tepatnya fenomena ini. Ada sebuah kecenderungan dalam masyarakat kita, muslim khususnya. Mereka, seolah lebih bangga memberi nama kepada anak-anak mereka dengan nama-nama yang kental aroma ke”islam”an atau ke”arab”an untuk lebih tepatnya.
Di permukaan, fenomena seperti ini mungkin adalah suatu hal yang biasa dan sepele, dan lagi “apalah arti sebuah nama” kata Shakespeare. Nama hanyalah identitas pembeda, yang seringkali dan biasanya mencerminkan pandangan atau ketertarikan orang tuanya. Bisa di bilang, kalau boleh memakai istilah ini, lebih kepada simbol otoritarianisme orang tua.
Akan tetapi, di sini, saya menangkap sebuah gejala yang mungkin bisa di katakan serius. Orang islam, muslim di Negara ini seakan telah dan sedang kehilangan motivasi dan kebanggaan untuk menonjolkan identitas kultural dan keindonesiaan. Kita, sekarang ini, sudah mulai jarang mendengar bayi dengan nama, yang notabene lebih mengesankan kultural. Di jawa, misalnya, kita sudah mulai jarang mendengar anak-anak dengan nama yang identik dengan budaya jawa, sukarno, sujiwo, budi utomo atau sarjono misalnya. Kita akan lebih sering mendengar nama-nama seperti al’bukhori, al’habsyi dan sebagainya. Lebih dari itu, kita juga semakin banyak melihat orang islam Indonesia lebih tertarik dengan panggilan yang ke”arab-arab”an, ummi untuk memanggil ibu, abi untuk memanggil bapak. Lebih tertarik dengan segala sesuatu yang di embel-embeli kata syariah, misalnya.
Sepintas, saya menangkap ada sebuah gejala yang sedang menjangkiti umat islam, sebuah gejala yang mengindikasikan bahwa sedang ada krisis kepercayaan diri yang akut di tubuh umat islam, yang mendorong mereka untuk menonjolkan identitas “komunal”. Sebenarnya sah-sah saja, itu kan hak asasi seseorang, apalagi Indonesia adalah Negara demokratis, yang mana, orang punya hak untuk menunjukkan identitas diri pribadi maupun komunal. Akan tetapi, jika kita mau berpikir lebih jauh, dorongan atau kehendak untuk menonjolkan identitas “komunal” secara berlebihan akan cenderung dan hampir selalu menyebabkan polarisasi sosial yang berbahaya. Dan pada sisi lain, karena sikap menonjolkan identitas tadi, pastinya akan menimbulkan semacam pemisahan atau pengkotak-kotakan dalam masyarakat, yang lebih jauh, dampaknya sangat tidak menguntungkan bagi cita-cita bangsa Indonesia, yang berbhineka tunggal ika.
Jadi, saya mempunyai kesimpulan, alangkah baiknya, demi cita-cita bangsa Indonesia, kita mau sedikit berkorban. Berkorban untuk hal-hal yang kecil-kecil saja, kita sedikit rendah hati untuk menanggalkan identitas-identitas “komunal” dan menggantinya dengan identitas cultural yang lebih Indonesia. Saya kira pun, identitas cultural Indonesia juga tidak kalah dengan identitas-identitas lain, arab misalnya.
Sekian, dan semoga tulisan saya ini bermanfaat.
No Comments